Pendidikan vs. KKN
Pagi ini ketika melewati sebuah SD, di kejauhan saya lihat anak-anak berjalan menuju ke sekolahannya, pagi sekali dan penuh semangat walau hanya dengan berjalan kaki. Hal ini mengingatkanku pada masa-masa SD ku dulu, sama dengan mereka saya pergi ke sekolah dengan jalan kaki, dekat memang hanya sekitar 2 km jarak rumahku dengan SD. Setelah berjalan biasanya di sekolah saya hanya belajar sekitar dua setengah jam, dan itu berjalan sekitar 3 tahun, sampai kelas 3 SD, karena SD ku dulu muridnya banyak sekali sehingga ruang kelas dibagi dalam 3 shift. Ketika menginjak kelas 4 waktu belajarku di sekolah bertambah jadi 4 jam dan ini berlangsung hingga saya lulus SD. Pertama kali masuk kelasku saja ada 55 orang murid.
Namun seiringnya waktu jumlah tersebut berangsur-angsur berkurang hingga hanya 28 orang pada saat kelas 6, hal ini karena ada yang tidak naik kelas, ada juga yang pindah sekolah. Walau begitu saat-saat itu saya menikmati dan senang bersekolah di sana, banyak teman dan kenangan mewarnai perjalanan hidup saya. Terus terang ketika akan lulus dan keluar saya sedih sekali karena dan merasa hampa karena saya akan berpisah dengan teman-teman terbaikku pada waktu itu.
Namun dari segudang cerita, pengalaman dan pembelajaran yang menyenangkan itu ada satu kecacatan yang mungkin tak akan pernah saya lupa. Pada saat pengumuman hasil Ebtanas ternyata nilai tertinggi diraih oleh salah seorang murid yang notabene selama ini tidak pintar alias bodoh dan tidak pernah masuk 10 besar atau tidak pernah berprestasi sama sekali, bahkan anak tersebut pernah tinggal kelas. Semua anak bertanya kenapa hal ini bisa terjadi?? Sebetulnya hal ini sudah diprediksi oleh kami (pada waktu itu masih SD) kalau dia (anak yang bodoh) itu nanti pasti Nem (nilai ebtanas murni) nya akan tertinggi, karena dia merupakan keponakan guru wali kelas 6. Dan ternyata hal tersebut jadi kenyataan.
Kenapa anak-anak SD pada saat itu bisa memperkirakan hal tersebut, karena selama bersekolah hal seperti itu sering terjadi dan itu seperti bukan hal tabu, bahkan guru-guru yang punya anak atau saudara yang jadi muridnya sering sekali berbuat tidak bagus seperti itu (maksudnya memberi nilai baik), hal ini bisa ditolerir kalau anaknya pinter, tapi kalau anaknya bodoh??? itu betul-betul pendidikan yang tidak mendidik.
Saya jadi berpikir, pantesan aja sekarang banyak orang korupsi, kolusi dan nepotisme, karena memang sejak SD yang notabene sebagai pendidikan dasar kita sudah diberi contoh yang tidak baik oleh perilaku pengajar kita. Masihkah hal seperti ini berlangsung saat ini ketika reformasi sudah berlangsung??? Mudah-mudahan hal tersebut hanya terjadi pada saat saya sekolah dulu. SEMOGA.
Komentar
Posting Komentar